#53 MTBJDT: Bagian 4: Meruncing

Tiga hari terjaga sukses mencetak lingkaran hitam di sekitar mata Brian dan Lutfi. Skleranya tampak penuh dengan guratan merah. Itulah harga yang harus mereka bayar untuk memperuncing anak panah kebenaran.

Demi menguatkan dugaan awal, lima orang saksi dipanggil ulang untuk dimintai keterangan lebih lanjut.

"Kenapa kita dipanggil lagi, ya?"

"Iya nih! Jangan-jangan kita masuk daftar tersangka?"

Para saksi meracau dan membuat gaduh ruang tunggu. Keriuhan mereda setelah Briptu Lutfi menampakkan diri. "Ibu Rosi dan Ibu May!" Dua perempuan itu berdiri perlahan. Lutfi mengisyaratkan dengan tangan agar mereka mengikutinya.

"Nama lengkap anda berdua adalah ... Hailatur Rosidah dan Halimah Maysaroh?" Tanya Brian.

Mereka mengiyakan dengan serempak.

"Ibu May, di sini tertulis bahwa Ibu baru kembali dari luar pulau, ya?"

"Iya, Pak. Saya ada pelatihan guru."

"Hmm, apakah anda berdua pernah mendapat pesan untuk menghadiri sebuah acara resital antara tanggal 15 hingga 22?"

"Resital?" Rosi dan May saling berpandangan. Lutfi menyerahkan kembali ponsel mereka yang sempat diminta saat mereka tiba di ruang tunggu. Lekas mereka nyalakan dan mencari pesan yang dimaksud AIPTU Brian.

Keduanya tersentak. "Ada!"

"Tanggal berapa?"

"17, Pak," jawab May cepat.

"Saya ... tanggal 22, Pak," jawab Rosi terbata. "Bagaimana bisa?"

"Kami mendapat laporan baru bahwa sebelum ketiga korban menghilang, mereka sempat membahas telah mendapat undangan untuk menghadiri sebuah resital piano untuk amal," ungkap Brian.

May dan Rosi menelan ludah. "Sepertinya, ... anda berdua adalah target yang gagal dieksekusi. Ibu Rosi yang mendadak harus pulang kampung karena urusan keluarga, dan Ibu May menjalankan tugas di luar pulau," sambung Lutfi.

"La- lalu ... apa kami ... masih diincar?" May mulai ketakutan. Dia menggenggam tangan Rosi dengan erat.

"Kemungkinan itu ada. Maka dari itu, kami akan menjamin keselamatan anda berdua sampai pelaku dapat kami ringkus."

Suasana tegang meliputi ruang Tim Pemburu. Mereka harus segera mengumpulkan bukti yang kuat. Ponsel keempat korban masih belum bisa ditemukan, sehingga tidak bisa melacak riwayat panggilan dan pesan yang seharusnya bisa menjegal tersangka utama.

Saksi berikutnya adalah Nurul. Dia bertugas menunggui meja tamu. "Ibu Fitriani Nurul Izzati, benar?" Tanya Brian.

"Benar, Pak."

Lutfi membuka map dan menunjukkan isinya pada Nurul. "Ini adalah daftar hadir peserta pada hari itu. Benarkah urutannya seperti ini?"

Nurul sedikit membungkuk agar lebih dekat ke meja. Dia mengangguk pelan.

"Mengapa nama Handika tidak ada nomor telepon dan parafnya?" Brian mengetukkan jari dua kali di atas nama tersebut.

"Saya yang menulis namanya, karena Pak Handika datang terlambat. Dia langsung masuk dan duduk tanpa mampir ke meja tamu. Dan ketika acara selesai, dia buru-buru pergi."

"Hmm, baiklah! Lalu, siapa saja yang melihat daftar ini?"

"Hmm, siapa ya?" Nurul melirik ke arah kiri cukup lama. "Saya tidak terlalu yakin, tapi ... sepertinya yang melihat daftar ini hanya Bu Tike, Bu Yulia, Bu Edel, dan saya."

Setelah mendapat keterangan yang cukup, Nurul diantar keluar oleh Lutfi. Tinggal dua orang yang perlu diinterogasi. Si kembar Rizky dan Rifqy.

Kedua pria itu bagai pinang dibelah dua. Wajahnya sama persis tiada beda. Tubuh mereka tidak bisa diam sempurna, selalu ada gerakan. Entah kaki yang bergoyang. Pundak yang naik turun, atau jempol yang mengitari telunjuk.

"Apa kalian suka musik?" Brian sudah menyiapkan pertanyaan khusus untuk si kembar. Keduanya mengangguk-angguk sambil tersenyum. Memperlihatkan deretan gigi putih yang terawat.

"Alat musik apa yang paling disukai?" Tanya Lutfi.

"Pip-piano," jawab Rizky setengah berbisik.

"Aku suka biola," ujar Rifqi bersemangat.

Selanjutnya, si kembar diminta untuk menulis nama-nama orang yang paling mereka sukai. Dan di antaranya, tertulis sebuah nama yang bukan nama orang.

***

"Sepertinya sudah ada titik terang mengenai ketiga korban. Sekarang tinggal korban keempat, N." Brian menempelkan foto kertas kusut di papan putih. Kertas yang ditemukan tim forensik di mobil korban.

"Perhatikan! Ada enam huruf kap-"

"Pretel?!" Lilis membacanya.

"Jangan dibaca langsung begitu," tegur Lutfi sambil cengar cengir.

"Keenam huruf ini ditulis kapital, dan sekilas tampak berjauhan. Bisa diasumsikan ... ini sebuah singkatan. Kemungkinan tulisan ini menjadi penyebab kematian korban. Kenapa? ... Aku juga tidak tahu!" Brian mengumpat dan membanting spidol.

"Karena N adalah wartawan, kemungkinan tulisan ini ada hubungannya dengan rumor yang sedang hangat," ujar Lutfi.

"Bisa jadi! Kalian berdua cari tahu rumor tentang apa itu. Aku mau tidur sebentar!" Brian berjalan terhuyung menuju ruang istirahat.

"Pak Lutfi tidak ingin tidur juga?" Tanya Ayu.

"Aku akan bantu kalian biar cepat ketemu. Percuma berbaring jika pikiranku masih duduk."

Dok dok dok

"Permisi! Ada paket untuk Tim Pemburu." Suara pria terdengar dari luar pintu.

"Sebentar!" Bripda Lilis berlari menuju pintu dan membukanya. "Terima kasih." Lilis membolak-balik kotak berlapis selotip coklat. "Siapa yang ngirim, Pak?"

"Maaf, kurang tahu, Bu! Kata kurirnya paket itu diambil dari toko. Permisi!"

"Ah, iya!" Lilis mengamati dengan heran kotak tersebut. Ukurannya sebesar kotak ponsel. Dia pun menyerahkannya kepada Lutfi. Ayu mengambil silet, lalu membantu Lutfi membuka paket.

Ketiganya sontak membelalak melihat isi kotak tersebut. Empat buah ponsel pintar yang sama seperti milik korban dan beberapa lembar foto yang memperlihatkan wajah si pelaku.

Bersambung >>

Comments

  1. Makin deg-degan, sehari post 2 episode boleh kok πŸ˜‚

    ReplyDelete
    Replies
    1. Eh~ g bolehπŸ˜†
      Satu satu aq sayang ibu, dong

      Delete
  2. kereeeen...
    mampir ke blogku jg yaaaa hehehe

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

#24 Penduduk Nganjuk dan Kesenian Daerahnya

#23 Bentang Alam dan Pembagian Wilayah Kabupaten Nganjuk

#25 Tujuh Belas Tempat Wisata Populer Nganjuk