#38 Cerpen: Ini Cintaku

Bagai sepasang merpati senja yang kembali ke sarang. Dua sejoli yang telah menghabiskan setengah abad bersama, kembali menghabiskan waktu berdua di rumah yang mereka bangun. Anak-anak telah cukup dewasa untuk hidup mandiri dan membesarkan keturunan mereka.

Hidup jauh dari anak-anak bukanlah hal sulit untuk kakek nenek ini. Meskipun kesehatan dan kekuatan berangsur meninggalkan tubuh renta, mereka masih bisa saling bahu membahu. Hidup di tengah-tengah lingkungan yang baik.

Kala azan berkumandang mereka siap berangkat ke musola untuk berjamaah. Jaraknya hanya 10 meter, sangat dekat. Sepulang jamaah, sang istri menyiapkan sarapan, sang suami membersihkan rumah. Sungguh kerja sama yang solid.

"Kung, sarapannya sudah siap." Panggilan sayang sang istri kepada suaminya. Kung berasal dari kata kakung yang berarti lelaki dalam bahasa Jawa.

"Ya, Uti," jawab sang suami. Uti dari kata putri yang berarti perempuan.

Sarapan romantis ala film Korea kalah dengan apa yang sedang mereka lakukan sekarang. Tengah asyik menyuapkan nasi dan lauk ke dalam mulut, sang suami merasa ada yang kurang dari masakan istrinya, tapi ia diam saja.

"Lho, kok kurang asin, ya Kung? Perasaan tadi sudah digaramin."

"Ndak apa-apa, Uti. Kita kan juga harus sudah ngurangi konsumsi garam," ujar Kakung sambil tersenyum. Baginya kurang asin bukan masalah. Setelah makan, ia menyeruput kopi manis yang ternyata pahit. Sepertinya istrinya sedang banyak pikiran sehingga lupa garam dan gula.

"Uti, sedang mikir apa? Anak-anak? Atau cucu?"

"Ndak mikir apa-apa, Kung. Mereka kan baik-baik saja. Kalau ada apa-apa pasti telepon," sahut Uti seraya membersihkan meja lalu ke dapur.

Kakung tidak menanggapi serius keteledoran istrinya. Baginya, wajarlah kalau sudah tua pikun sedikit. Aktivitas mereka lancar sampai malam menjelang. Masakan Uti pun enak-enak saja.

Sarapan keesokan paginya, Kakung mendapati lauknya sangat manis dan kopinya sangat asin. Walau begitu Kakung cuma diam, justru Uti yg bingung dan memprotes dirinya sendiri.

"Haduuh, gara-gara wadah garam dan gula sama, jadi ketukar," keluh Uti. Setelah membersihkan meja, ia segera mengganti wadah garam dengan ukuran yang lebih kecil. Kakung memperhatikan dengan geli kelakuan istri tercintanya.

"Ti, Kakung mau pergi ke rumah Pak Muis sebentar. Titip sesuatu ndak?"

"Tolong belikan teh dan kopi yang biasanya, Kung. Dan ... anu ituloh ... aduh apa ya namanya?" Uti berjalan cepat ke dapur melihat apa yang habis. Dia mengambil botol kosong dan menunjukkannya, "Ini loh, Kung. Habis."

"Kecap?!"

"Iya kecap. Hehehe."

"Uti ini, udah tua juga masih suka bercanda. Hehehe. Iya, nanti Kung belikan. "Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam." Kakung menyalakan mesin motornya dan melaju.

Uti ini ada-ada saja. Masak lupa kecap. Batin Kakung. Lima menit kemudian, ia sampai di rumah Pak Muis, Pak RT, yang juga membuka toko kelontong di depan rumahnya. Kakung menyempatkan belanja dulu agar tidak terlupa.

Di rumah, Uti menonton acara favoritnya di teve sambil menunggu suaminya. Uti memiliki 3 anak, semuanya perempuan dan ikut suami masing-masing. Biasanya anak bungsunya, yang rumahnya paling dekat, akan datang berkunjung setiap dua kali sepekan atau paling tidak sekali dan bermalam. Sebenarnya, anak Uti yang kedua sudah mengajak mereka tinggal bersama, tapi mereka menolak dengan alasan tidak ada yang merawat rumah utama. Jadilah mereka hidup berdua indahnya di istana lapuk yang penuh kenangan.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam, sudah pulang Kung?" Uti menyambut kedatangan suaminya.

"Ini pesanan Uti," menyerahkan kantong plastik putih.

"Apa ini, Kung?"

Kakung terdiam menatap istrinya. "Lho, pesenan Uti tadi. Katanya titip teh, kopi, dan kecap?"

"Oh ya, lupa. Hehe..." Perempuan renta itu meninggalkan suaminya yang kebingungan.

Kejadian Uti yang suka lupa akhirnya membuat Kakung terbiasa. Sudah sebulan kejadian tersebut berulang, meski tidak setiap hari. Uti juga suka menanyakan sesuatu berkali-kali. Seperti saat sebelum tidur, Uti menanyakan apakah pintu sudah dikunci sampai 3 kali.

Hari itu, anak bungsunya berkunjung. Ia membawa serta anaknya yang masih berusia dua tahun. Kakung dan Uti sangat senang.

"Nduk, jilbabmu bagus. Beli di mana?" Tanya Uti.

"Di teman Diyah, Bu. Dia jualan online. Kalau Ibu suka, Diyah belikan," mengambil ponsel, "ini gambar-gambarnya, Bu. Ibu suka yang mana?"

"Ah, ndak usah. Jilbab Ibu masih bagus-bagus." Uti ditemani Diyah menonton teve di ruang tamu sambil mengawasi si kecil bermain lego di lantai.

"Nduk, jilbabmu bagus. Beli di mana?" Uti bertanya lagi. Perempuan muda kebingungan.

"Tadi kan sudah Diyah jawab, Bu. Di temannya Diyah."

"Oh ya?!" Uti mengalihkan padangannya ke acara teve. Tak lama ia memandangi kepala putrinya, dan mengulangi pertanyaan yang sama. Sang putri bungsu, tambah bingung, namun menyimpannya dalam hati.

Diyah menunggu sampai ibunya tidur siang. Dan menanyakan keanehan ibunya kepada bapaknya.

"Pak, Ibu tadi tanya Diyah pertanyaan yang sama tiga kali. Ibu kenapa jadi pelupa, Pak?"

"Ndak tahu, Nduk. Mungkin sudah tua, jadi pikun." Diyah menerima jawaban Bapaknya, walaupun ada yang masih mengganjal di hatinya.

Bulan berikutnya, Diyah ngotot meminta izin bapaknya untuk memeriksakan kondisi ibunya. Bukan tanpa alasan dia melakukannya. Saat kunjungan rutinnya atau telepon harian, Diyah merasakan keanehan yang mengkhawatirkan. Masakan Uti kadang tidak jelas, padahal ia dulu sangat pandai memasak. Ia sering lupa baik nama orang atau tempat dan menaruh barang tidak pada tempatnya. Bahkan ia pernah lupa namanya sendiri. Tapi bapaknya tidak mengizinkan, alasannya selalu sama, karena lumrah bagi orang tua untuk lupa, karena dia sendiri juga kadang suka lupa.

Sampai pada suatu hari, Uti yang baru selesai memasak makan malam memanggil Kakung dengan sebutan lain, "Romo, ayo makan dulu."

Kakung tahu benar sebutan Romo itu ditujukan untuk mendiang bapak mertuanya, bapak kandung istrinya. "Ti, ini Kakung, bukan Romo." Ia berusaha menyakinkan istrinya.

"Iya, Romo kan juga kakung (lelaki)." Uti tersenyum simpul dan mulai menyantap hidangan di atas meja. Merasa ada yang salah, setelah makan Kakung menelepon Diyah.

"Nduk, kapan kamu mau memeriksakan ibumu?"

"Bapak setuju? Kalau bisa secepatnya, Pak. Lusa bagaimana? Mas Arya pas libur." Kakung menyetujui saran anaknya dan berangkat ke rumah sakit pada hari yang ditentukan.

Setelah pemeriksaan menyeluruh, Uti divonis mengidap Alzheimer. Dokter menjelaskan dengan perlahan langkah apa yang harus ditempuh keluarga untuk merawat penyakit yang tidak ada obatnya ini. Menurut dokter, Uti sudah berada di tahap enam, ia akan mulai mengalami delusi, melupakan wajah, dan akan kesulitan berbicara. Dan benar saja, dua pekan pasca pemeriksaan semua gejala tampak.

Diyah memutuskan untuk ikut merawat ibunya, tapi dilarang oleh bapaknya. "Kasihan keluargamu, Nduk. Bapak masih sanggup merawat Ibumu, kog."

"Kalau Bapak seyakin itu, Diyah cuma bisa nurut. Tapi, setelah Mas Arya berangkat kerja, Diyah akan langsung kemari." Lelaki tua itu mengangguk pelan lalu tersenyum.

Dengan telaten, Kakung merawat istrinya yang kini tidak bisa lagi mengenali dirinya sebagai suami. Uti tidak lagi bisa makan, berjalan, bahkan berdiri sendiri pun tak bisa ia lakukan tanpa bantuan. Diyah sebenarnya tidak tega melihat bapaknya berusaha sendiri, tapi mau bagaimana lagi.

Pagi itu, setelah suaminya berangkat kerja. Diyah bersama kedua kakaknya yang baru datang dari luar kota, menyambangi kediaman orang tua mereka. Biasanya pintu depan sudah dibuka, namun pagi itu masih terkunci. Untungnya Diyah membawa kunci cadangan, mereka langsung masuk setelah mengucapkan salam. Tapi, mereka tidak mendengar jawaban.

Diyah mengajak dua saudarinya menuju kamar orang tuanya. Mereka melihat ibunya sedang duduk bersandar bantal di atas kasur, menatap mereka sambil tersenyum. Di sampingnya, Kakung masih nampak tidur pulas dengan balutan selimut.


Diyah mencoba membangunkan Bapaknya. Namun, betapa kagetnya dia, kala menyentuh tangan lelaki tua itu. Dingin.

"Innalillahi wa innailaihi raji'un... Bapaaaak.." Diyah menjerit dan jatuh terduduk di lantai. Menangis menjadi-jadi. Kedua kakaknya sontak menangis sambil memeluk jasad bapaknya.

Berita kepulangan Kakung segera menyebar. Satu persatu tetangga datang dan memenuhi rumah itu. Keluarga dekat dan jauh dikabari, dan berdatangan bagai gelombang. Tak ada yang menyangka kepergian lelaki tua itu mendahului istrinya yang sakit. Kesetiaan dan cintanya pada sang istri sampai akhir hayat.

Sepeninggal Kakung, Diyah yang merawat Uti. Dia memutuskan untuk tinggal di rumah masa kecilnya bersama anak bungsunya. Suami dan dua anaknya yang sudah remaja tetap tinggal di rumah. Uti yang sudah ditinggal Kakung, setiap hari hanya duduk dan tersenyum-senyum tanpa arti. Sepertinya ia tidak tahu telah ditinggal orang terkasihnya.

Selang dua bulan kemudian, Uti menyusul suaminya dalam damai tidur. Mungkin ia tidak tahu, tapi pasti ia merasakan ketidakhadiran sosok yang selama 50 tahun menemaninya dalam suka dan duka. Kini mereka bersama, bersanding dalam tidur yang panjang.

*Selesai*

#repost postingan Facebook 29 Juli 2019

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

#24 Penduduk Nganjuk dan Kesenian Daerahnya

#23 Bentang Alam dan Pembagian Wilayah Kabupaten Nganjuk

#25 Tujuh Belas Tempat Wisata Populer Nganjuk