Ketika Bertentangan dengan Logika

Film. Sebuah karya yang memadukan segala aspek. Bersumber dari naskah yang divisualisasikan. Setiap tokoh diperankan dengan penghayatan. Di balik kamera, penata cahaya dan suara bekerja sama. Serta masih banyak lagi yang terlibat dalam pembuatan sebuah film hingga akhirnya bisa tayang di layar lebar.


Sebagai sebuah bentuk karya yang ditujukan untuk dinikmati khalayak, tentunya film tidak akan bisa lepas dari kritikan dan pujian. Mulai dari penonton awam hingga para pengamat dan kritikus film berlomba untuk memberikan ulasan yang menurut mereka pantas diberikan.


Bicara tentang film, saya adalah salah satu penikmatnya. Genre yang saya cari biasanya; petualangan, aksi, komedi, thriller, fantasi, dan animasi. Kegiatan menikmati film bagi saya tidak hanya sekedar 'menonton', tetapi juga mengamati. Jadi sambil menonton, saya juga membayangkan bagaimana orang-orang dibalik kamera bekerja.


Nah, karena kebiasaan 'mengamati' tersebut, saya jadi sangat sensitif jika ada adegan yang 'ganjil'. Misalnya saja, kemarin saya menonton film barat. Judulnya sudah umum digunakan dan di film-film sebelumnya terbukti digarap dengan serius sehingga kualitasnya bagus.


Bagaimana dengan yang baru ini? Selang beberapa menit adegan pembuka, saya merasa tidak nyaman. Film ini terasa masih mentah. Tapi, ya sudahlah! Coba lanjut menonton saja dulu. Semakin lama, otak pun protes, "Apaan nih?!"


Saya jelaskan satu saja keganjilan di film ini, yaitu gua. Lazimnya gua itu gelap. Jika ada cahayanya pun pasti berupa obor atau senter yang dibawa oleh para pemain. Atau setidaknya berkas cahaya remang untuk sekedar agar kamera bisa menangkap air muka para aktor.


Di film ini guanya terang benderang. Hingga bayangan aktor dan aktris terbentuk sempurna di bebatuan (bahkan beberapa kali ada bayangan dari kru belakang kamera dan kabel, hadeuh ...). Padahal, dari tiga orang yang ada di dalam gua hanya satu yang bawa senter, dua lainnya malah bawa senjata api --bukan api.


Cukup. Hentikan! Satu hal ini saja sudah membuat otak sakit. Ketidaklogisannya tidak bisa lagi ditoleransi. Semoga ke depannya film 'mentah' seperti ini tidak lagi muncul dihadapan saya. Dalam artikel (lebih tepatnya curahan hati) ini tidak menyebutkan judul film tersebut untuk menghargai pembuatnya.


By the way, apakah pembaca pernah senasib dengan saya?

Comments

Popular posts from this blog

#24 Penduduk Nganjuk dan Kesenian Daerahnya

#23 Bentang Alam dan Pembagian Wilayah Kabupaten Nganjuk

#25 Tujuh Belas Tempat Wisata Populer Nganjuk