#4 Seri Kereta Api: Gerbong Terakhir



"Fad, jangan lupa, nanti jam satu giliranmu patroli gerbong."

"Siap, Ndan! Laksanakan."



***
Genap sudah dua tahun aku bertugas jaga di kereta ekonomi. Kereta api yang memiliki tingkat kejahatan tertinggi di masa ini. Sebagai seorang abdi negara, sudah menjadi kewajibanku untuk menjaga keamanan di manapun berada.


Sambil menunggu giliran patroli, kusesap dulu segelas kopi untuk mengusir rasa kantuk. Bercanda dengan rekan AD atau para penumpang, kujadikan ajang mengusir rasa bosan sekaligus menambah keakraban. Tidak sedikit pula peristiwa langka yang terjadi selama aku bertugas.

Beberapa bulan lalu, terjadi peristiwa berdarah di kereta ini. Seorang pencopet yang bersembunyi di atap gerbong harus rela kepalanya terbelah akibat sabetan kabel yang melintang. Cipratan darah segar mewarnai atap gerbong. Banyaknya darah yang menggenang, meleleh hingga mengotori kaca jendela.

Masinis segera mengerem kereta setelah mendapat laporan. Evakuasi korban dilakukan cepat. Kami mendapat bantuan dari para petani yang kebetulan berada di dekat lokasi kereta berhenti.

Aku mendapat tugas untuk menenangkan penumpang. Padahal hatiku sendiri tidak tenang. Tubuh tinggi tegapku berbanding terbalik dengan mentalku dalam menghadapi situasi seperti ini.

Sedikit rasa penasaran mendorongku mengintip keluar gerbong.

"Mau lihat, Fad?" Pria paruh baya bertubuh tegap berkumis tebal bertanya.

"Ah! Tidak, Ndan," jawabku cepat.

"Haah ... Sudah nggak bawa tiket, jadi copet, mati tragis pula." Komandan menggaruk-garuk kepala. "Padahal masih muda, lho!"

Setelah mengamankan mayat korban dengan bantuan polisi setempat, para staf pria dan anggota TNI AD yang ada di kereta bergotong royong membersihkan permukaan gerbong yang bernoda darah. Kami tidak bisa berlama-lama menunda keberangkatan kereta.

Sejak kejadian itu, gerbong nomor sembilan tidak lagi digunakan. Lampu yang biasanya menyala, mendadak sering mati. Sehingga sesuai kebijakan dan kesepakatan bersama, gerbong paling belakang tersebut dibiarkan kosong. Namun, bukan berarti dibiarkan begitu saja. Karena gerbong itu sering digunakan penumpang gelap yang tidak membawa tiket, sekaligus sebagai tempat sembunyi para pencopet dan pencuri kereta.

***

Aku sedang mengobrol santai dengan seorang penumpang wanita cantik. Tiba-tiba ....

"Fad! Giliranmu patroli," tegur rekanku sambil menepuk bahuku dari belakang.

Aku berjingkat setengah kaget. "Iya, siap!" Segera aku pamit pada si cantik. Merapikan seragam loreng kebanggaanku dan mulai beroperasi.

Aku menyusuri dan mengamati tiap sudut gerbong serta penumpang. Kebanyakan dari mereka tertidur pulas. Sedangkan sisanya, ada yang melihat keluar jendela dan bercakap-cakap dengan teman seduduk.

Sebenarnya, aku sudah bertekad untuk tidak memeriksa gerbong terakhir karena takut. Namun, komandan tetap memerintahkan untuk melakukannya. Khawatir kalau ada yang sembunyi di sana. Sebab ada penumpang yang mengeluh kehilangan dompetnya tadi.

"Alhamdulillah, hampir selesai tugasku tinggal satu gerbong lagi. Gerbong paling depan." Aku berjalan penuh semangat. Sebentar lagi aku bisa melanjutkan pendekatan pada wanita cantik di gerbong lima.

"Lho? Kenapa gelap? Apa lampunya mati, ya?" Kuambil senter di saku celana. Lalu menyalakannya tepat di pintu.

Kuarahkan sinar ke setiap sudut bagasi atas dan bawah kursi. Seperti mencari seekor tikus. Ya, tikus pencuri.

Sampai di tengah gerbong, kudapati seorang pemuda sedang duduk. Dia berperawakan kecil dan bertopi. Bagian depan topi hampir menutupi seluruh wajahnya, hanya menyisakan bibir gelapnya. Tampaknya dia perokok.

Pemuda itu diam. Mungkin sedang tidur. Aku coba memanggilnya.

"Mas? ... Mas?"

Dia tidak menyahut.

"Tiket mana? Nggak bawa tiket, ya?" Kunaikkan sedikit suaraku. Setengah mengancam. Namun, dia bergeming.

"Mas tidak takut gelap-gelapan sendiri di sini?"

Tidak ada respon.

Tidur, ya? ... Ah, sudahlah! Biarkan saja. Nanti kulaporkan pada Komandan.

Aku pergi meninggalkan pemuda itu setelah memeriksa tuntas gerbong depan yang gelap. Setelah melewati dua gerbong kemudian, aku bertemu rekan yang akan menggantikan berpatroli.

"Van, di gerbong depan ada bocah bertopi satu. Coba tanyai nanti kalau kamu ke sana."

Dahi Evan mengkerut. "Gerbong depan katamu?"

"Iya, yang lampunya mati itu," jelasku. Jari telunjuk kuarahkan.

"Berani juga kau ke sana, Fadli!" Evan terkekeh sambil menepuk-nepuk bahuku.

"Memang kenapa?"

"Itu kan gerbong sembilan, Fad. Kau lupa, ya?"

Aku bingung.

Gerbong sembilan kan di belakang ... Itu tadi gerbong depan. Dekat lokomotif ....

Aku membelalak. Teringat jika lokomotif akan berpindah tempat saat tiba di stasiun terakhir. Yang berarti gerbong paling belakang akan berubah menjadi yang terdepan.


Seketika, sendiku lemas. Tanganku segera mencari pegangan pada sandaran kursi penumpang yang terdekat.

"Hahaha ... Gerbong itu selalu kosong, Fadli ..." Evan tertawa keras. Mengundang atensi penumpang dan komandan yang datang menghampiri kami.

"Ada apa ini? Kenapa ngakak begitu, Van?" Tegur komandan.

"Ini Ndan, Fadli ketemu bocah bertopi di gerbong depan," jawab Evan sambil menyeka air mata.

"Bocah bertopi? Topinya biru, bukan?"

"Siap, Ndan. Kenapa Komandan tahu?" Aku membenahi posisi berdiri.

"Ya tahu, itu pasti penampakan pencopet yang kepalanya terbelah dulu. Ada topi biru yang ditemukan di sekitar mayatnya," terang komandan. "Wah, ini pasti gegara masih ada sisa bercak darah. Harus dicuci lagi," lanjutnya setengah bergumam.

Sekali lagi. Lututku langsung lemas mendengar penjelasan komandan.

"Bwahahahahahaha ..." Evan tertawa makin keras sambil memegang perut. Komandan ikut tersenyum geli. "Coba dia buka topi di depanmu tadi, Fad. Pasti bakal seru! Hahahaha ...."

Aku tidak bisa berkomentar lagi. Bibirku kelu. Rasanya, aku hampir pingsan mengingat apa yang baru saja kualami. Yang kuhindari malah harus kuhadapi.

πŸš„  Selesai 🚧

Comments

  1. "Seketika, sendiku lemas. Tanganku segera mencari pegangan pada sandaran kursi penumpang yang terdekat. " -penggalan yang brilian buatku. :)
    .
    .
    Main & Follow juga Arsilogi.id :D

    ReplyDelete
  2. Btw, beberapa kali ke Jawa tapi belum pernah mencoba naik kereta 😭

    ReplyDelete
  3. Horooorr.. mana bacanya malem pula hehe. suka sih ceritanya

    ReplyDelete
  4. Mbak, aku bacanya kok ya pas malam to

    ReplyDelete
  5. Wah para pembaca awam mesti hati-hati dengan resiko anemia kalau baca cerita ini.

    ReplyDelete
  6. Setelah mengamankan mayat korban dengan bantuan polisi setempat, para staf pria kereta beramai-ramai gotong royong membersihkan permukaan gerbong yang bernoda darah.

    Sepertinya akan lbh enak dibaca kalo begini:

    Beberapa staf kereta yang laki-laki, bergotongroyong membersihkan atap gerbong yang penuh darah.

    Sebab aneh kalau 'para staf pria kereta', yakan?

    Beramai-ramai atau gotong royong saja. Sbb kalau sdh gotong royong pasti dilakukan bersama²/beramai².

    Permukaan kereta yg penuh darah?.
    Bukannya td kejadian ada di atap salah satu gerbong?

    Kalau permukaan kereta kira² letaknya yg mana? Bingung kan?

    Jd lnhsng sj atap gerbong


    Sekian, maafkeun jempolku yg lagi² usil.

    πŸ˜€πŸ˜€

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

#24 Penduduk Nganjuk dan Kesenian Daerahnya

#23 Bentang Alam dan Pembagian Wilayah Kabupaten Nganjuk

#25 Tujuh Belas Tempat Wisata Populer Nganjuk