#17 Seri Kereta Api: Bayi
"Pak! Pak! Tolong istri saya
...."
Lelaki
berkaos hitam meraung-raung sambil menangis. Dia menarik-narik seragamku.
Memaksa untuk mengikutinya.
"Tenang
dulu, Pak!" Kukendalikan kedua bahunya. "Istri Bapak kenapa? Tolong
ceritakan dengan tenang."
"Tenang
gimana? Istri saya terkunci di toilet, Pak! Ayo cepat!"
Kami
bergegas menuju toilet yang dimaksud di gerbong tujuh. Kerumunan penumpang
memadati jalan menuju ke sana.
"Minggir!
Minggir!" Teriak si bapak.
"Mohon
penumpang kembali ke tempat duduk masing-masing," pintaku sopan dan tegas.
Sampai di
depan pintu toilet. Aku mencoba memutar gagang. Macet.
"Ibu!
Ibu bisa mendengar saya?" Nada suara kunaikkan agar tidak kalah dengan deru
kereta. Berulang kali kupanggil, tapi tak ada jawaban dari dalam.
Apa
jangan-jangan dia pingsan?
Hampir saja
kudobrak pintu toilet, jika tidak terdengar sayup-sayup suara tangis.
Bayi?
"Pak!
Ada suara bayi. Sepertinya anak Bapak menangis."
"Bayi?
... Ya Allah! Istri saya melahirkan, Pak ...." Lelaki itu ambruk.
Pandangannya nanar. Dia memegang dan mencengkeram kepala begitu kuat.
"Melahirkan?
Kog bisa?" Aku memutuskan untuk merusak gagang pintu dengan tangan
kosong.
Dak
Pintu kubuka
pelan.
Allahu akbar
Seorang
wanita dengan tubuh bagian bawah yang berlumur darah pingsan dalam posisi
bersandar. Bayi merah meronta-ronta di dekat lubang toilet. Penumpang lain yang
peduli mencoba menguatkan bapak si bayi. Adapula yang sigap segera mencari penumpang
wanita yang mengerti cara merawat bayi baru lahir dan mencarikan handuk dan air
hangat.
Lekas kuraih
bayi merah itu, lalu kugendong. Beberapa ibu-ibu berjalan setengah berlari
mendekatiku sambil membawa handuk putih dan baskom air. Aku menyerahkan si bayi
pada mereka agar segera dirawat. Kualihkan perhatianku pada sang ibu. Beruntung
tubuh perempuan ini kecil, sehingga mudah saja kuangkat dan kugendong menuju
gerbong staf.
***
“Pak Samijo.
Ini bagaimana ceritanya istri Bapak bisa melahirkan di toilet?” Kepala staf
gerbong mengerutkan dahi. Memandang lelaki kurus di depannya. Aku berdiri,
bersandar di samping pintu yang tertutup.
”Saya juga
bingung, Pak. Se-setahu saya usia kandungannya masih delapan bulan. Jadi saya
tidak khawatir mengajaknya pu-lang kampung ke Jombang,” jelasnya sambil
terbata-bata. Kepalanya tertunduk dalam.
“Fad,”
panggil komandan. “Waktu kamu patroli tadi pagi, apa kamu lihat ibu hamil itu?”
“Siap
Komandan, tapi saya tidak terlalu memerhatikan wajahnya.”
“Huft, ...
Pak! Apa Bapak tidak tahu peraturan transportasi jarak jauh? Ibu hamil muda dan
hamil tua dilarang menaikinya. Apapun itu. Pesawat, kereta api, atau bus. Bapak
tahu kenapa?” Pak kepala stasiun menyandar. Netranya masih lekat mengintrogasi
gelagat lelaki berkaos hitam.
“Ma-maaf,
Pak!”
“Ya karena
ini. Kemungkinan melahirkan mendadak seperti ini. Bapak masih beruntung ibu dan
bayinya selamat. Kalau saja, ... kalau saja bayi itu masuk ke lubang toilet
bagaimana? Kalau istri Bapak pendarahan gimana?”
Pak Samijo
semakin mengkerut di tempat duduknya. Terik matahari memanaskan udara dalam
gerbong. Meski angin masuk melalui sela-sela jendela, suasana gerbong yang
hanya dihuni empat manusia ini terasa pengap dan sesak.
“Maaf, Pak.
Saya salah.” Pak Samijo menunduk semakin dalam. “Tadi istri saya mengeluh
mulas. Saya kira sedang sakit perut. Saya antar ke toliet, lalu saya tinggal
merokok sebentar di sambungan gerbong.
Karena tidak
kunjung keluar, saya ketok pintunya. Saya panggil. Istri saya teriak kesakitan,
dia memanggil-manggil saya. Tapi saya ... tapi saya tidak bisa membuka pintu. Saya
panik, Pak. Saya bingung mau minta tolong siapa.”
“Di sekitar
Bapak kan banyak penumpang lain?” Selaku.
“Iya, tapi
saya lihat Pak tentara duluan. Jadi saya langsung lari tanpa pikir panjang,”
jelasnya.
Hening.
Udara serasa mengalir menghanyutkan ketegangan. Nasi sudah jadi bubur. Mau
disalahkan seperti apapun, Pak Samijo pasti sudah merasakannya sendiri.
“Ya sudah.
Sekarang yang penting Istri dan anak Bapak selamat.” Pak Komandan berdiri,
diikuti kepala staf. Aku benarkan posisi agar lebih tegak. “Selamat Pak Samijo,
ini anak pertama Bapak, bukan?”
“I-iya, Pak.
Terima kasih.”
Secara
bergantian kami menyalami Pak Samijo. Kemudian bersama-sama menengok keadaan Ibu
Listi dan si bayi cantik. Aku penasaran kira-kira nama apa yang akan diberikan
kepada bayi ajaib ini.
<> Selesai <>
*Berdasarkan kisah nyata.
<> Selesai <>
*Berdasarkan kisah nyata.
Sampai deg degan bacanya bagaimana bisa melahirkan sendiri di toilet kereta sungguh diluar biasa
ReplyDeleteSetuju π
DeleteDuh tragis bner
ReplyDeleteEh, tapi kn selamat πΆ
Delete"Aku duduk berdiri bersandar di samping pintu yang tertutup".
ReplyDeleteDuduk, berdiri, bersandar adalah kata kerja.
Oh yes, perlu edit beberapaπ
Deleteπ±ngeri2 sedap.
ReplyDeleteBapaknya kok meraung-raung sih? π€£π✌️
Takut istrinya knp2, kn pasangan muda Kak, masih labil π
DeleteSiapa ya kira2?
ReplyDeleteπ siapa hayo?
Delete