TENDANGAN RENDANG
Ruri melipat cepat selimutnya. Tanpa melihat kanan kiri, ia
melesat menuju kamar mandi, membasuh wajah, tangan, rambut, telinga, terakhir
kedua kaki. Adzan sudah berkumandang setengah jam yang lalu. Waduh bisa telat nih!
Tepat pukul 05.00, suara siulan ketel air memenuhi rumah.
Perempuan paruh baya terlihat sibuk menyiapkan meja makan. Dengan sigap Ruri
membantu ibunya menghabiskan nasi goreng dan telur ceplok di piring, lalu
meneguk habis segelas teh hangat.
“Pelan-pelan, Rur! Matahari nggak bakal tenggelam pukul 6
pagi.” Ujar seorang pria paruh baya bertubuh tegap yang baru duduk di kursi
makan.
“Pamit dulu, Pak! Bu! Assalamu’alaikum.” Setelah mencium
tangan kedua orang tuanya, Ruri menyambar kunci motor yang menggantung di sisi
pintu lemari.
“Wa’alaikumsalam. Duh Pak, Si Ruri itu perutnya bisa sakit
kalau tiap sarapan begini terus.” Keluh Ibu.
“Tidak apa-apa, Bu. Yang penting dia tepat waktu, dari pada
nggak sarapan? Malah sakit, kita juga yang repot.” Jawab Bapak santai sambil
nyeruput kopi manis buatan Ibu.
Setelah satu jam perjalanan, Ruri sampai di sekolah. Ia segera
mengambil topi dan tongkatnya, bersiap di pos pintu gerbang. Satu per satu
anak-anak berseragam putih biru melewati gerbang utama yang cukup lebar itu.
Gerbang besi kokoh berwarna hijau.
Tak jauh dari situ, ada deretan warung dan rumah makan. Salah
satunya Rumah Makan Padang Bang Toga. Tidak seperti namanya yang terasa padat,
Bang Toga adalah orang yang sangat ramah. Badannya kurus berisi. Meski umurnya
sudah lebih dari setengah abad, dia masih sering lari pagi. Katanya biar senada
ama Bang Rhoma.
Siang itu mendung memayungi kota tempat Ruri tinggal. Ia
memutuskan untuk mengisi lambungnya di warung Bang Toga. Menu favoritnya adalah
Rendang dan sayur daun singkong plus tambahan sensasi pedas sambel ijo.
“Kamu apa nggak kepikiran cari kerja lain, Rur?” celetuk Bang
Toga seraya menyiapkan nasi dan lauk pesanan Ruri.
“Iya sih, Bang! Tapi mau nglamar kerja di mana? Ijazah yang
ada cuma SMA. Mau kuliah, tapi nggak ada biaya. Cari kerja sekarang susah kalu
nggak ada koneksi,” pesanannya sampai di meja, “terima kasih.”
“Kamu nggak bosan jadi satpam?” Tanya Bang Toga penasaran.
“Kalau boleh jujur, saya suka pekerjaan ini. Meski kata orang
rendahan, tapi menjaga keamanan adalah hal yang penting menurut saya. He he he,
dulu niatnya mau ikut daftar tes masuk tentara. Tapi gagal di tes fisik.”
“Kerja apapun yang penting halal, iya kan?” senyum Bang Toga
menutup percakapan singkat itu.
Sore berganti malam. Sebelum pulang, Ruri mampir untuk menyapa
pemilik warung langganannya. Biasanya Bang Toga duduk di emperan menunggu adzan
maghrib. Tempat itu sepi dan gelap. Lampu teras pun tidak menyala. Otak Ruri
tergelitik untuk turun dari motor. Sekilas ia melihat kilauan cahaya dari dalam
warung. Matanya tersentak kala melihat dua orang bertopeng mengoyak mesin kasir
dalam keremangan cahaya lampu. Bang Toga tergolek tak berdaya, sepertinya
pingsan.
Dengan diam-diam tanpa rencana matang, Ruri mengambil dua
piring kosong dan membantingnya tepat ke ubun-ubun perampok yang bertubuh kecil.
DAKK
Kontan, si perampok langsung roboh. Karena kaget, perampok
yang lain mengayunkan pisau ke arah Ruri. Naas, ujung pisau menyanyat tangan
kanan Ruri yang berusaha menangkis serangan.
Dengan kuat, kaki Ruri menendang tangan perampok yang memegang
pisau. Pisau terlempar jauh. Kepalan tinju mendarat di wajah sang perampok. Ia
terpental. Sebelum ia sempat membalas, Ruri melempar baskom berisi sisa bumbu rendang
dan menyusulnya dengan sebuah tendangan berputar. Tendangan itu telak mengenai
pelipis orang tak diundang itu. Sekejap saja, ia langsung kehilangan kesadaran.
Suara keributan di warung Bang Toga mengundang rasa penasaran
para tetangga. Mereka melihat dua orang tak dikenal terikat tali di sudut
ruangan. Bang Toga menjelaskan peristiwa perampokan itu pada warga yang datang.
Menjelang Isya, polisi menjemput kedua orang malang itu.
@ Selasai @
Comments
Post a Comment