Pengalaman Langka


PERSPEKTIF

Aku bergegas membuka pintu, “Asslamu'alaikum. Yaaaaaaaaannnnkkkk...”
“Wa'alaikumussalam. Ada apa??!” Suamiku yang baru saja keluar dari kamar mandi kaget dan bingung mendengar panggilanku yang ketakutan.
Aku melihat jam diding untuk memastikan kekhawatiranku. Terang saja, ini baru pukul 04.30. Rasanya, semua keganjilan pagi itu memenuhi kepalaku.
***
Lima menit yang lalu, aku berjalan santai menyusuri jalan raya yang sepi sepulang berbelanja di penjual terdekat. Hanya ada 3 sepeda motor dan satu mobil yang lewat. Maklum, selurusan jalan raya ini ditutup total karena ada perbaikan. Biasanya, truk dan sebangsanya lalu lalang tiada henti selama 24 jam. Entah mengapa ufuk timur masih gelap, biasanya warna jingga sudah terlukis di sana. Tiba-tiba, kudengar suara azan.
“Jam segini kog baru azan, sih? Apa ngazani orang berangkat haji, ya?!” Aku keheranan. Azan kog telat banget. Pikirku. Baru beberapa langkah, suara azan lain berkumandang. “Lho?? Kog ada lagi??” Dan panggilan salat yang ketiga pun berkumandang. Aku mulai panik dan bertanya-tanya. “Tunggu sebentar, apa ini baru subuh??” Kupercepat langkah agar lekas sampai di rumah.
***
Sepuluh menit sebelumnya, aku sampai di perempatan balai desa. Tepat di belakangnya, ada penjual sayur dan lauk pauk yang sudah menjadi langgananku. Pelan, kuintip dari kejauhan untuk memastikan. “Jualan nggak ya..?” Alhamdulillah, barang dagangan berbaris rapi di depan rumah. Aku segera menghampiri meja yang penuh sesak, memilah dan memilih mana yang kubutuhkan.
Tak berselang lama, ibu penjual keluar dari dalam rumah dan mengajakku berbincang. Ibu penjual sempat bertanya saat aku tengah sibuk berpikir, “Sendirian saja?”
“Iya,” kujawab singkat dengan ramah. Ibu itu tidak melanjutkan pertanyaan karena ada pembeli lain yang datang. Sampai pembeli itu pulang, aku belum juga selesai memutuskan mana saja yang kubeli. Sesaat pandanganku dicuri kucing milik ibu penjual yang sedang santai di bawah meja. Kuulurkan tangan untuk membelai, dia menerimaku.
"Namanya Ronron." Kata ibu penjual.
"Umurnya berapa?"
"Wah, berapa ya? Dia kucing pendatang, hmm ... kira 4 tahun yang lalu. Awalnya saya usir, tapi dia menolak. Mungkin pemilik sebelumnya tidak merawatnya dengan baik." Terang si ibu.
Merasakan bulunya yang agak tebal dan kasar, aku tahu Ronron adalah kucing jantan. "Saya juga punya kucing yang coraknya mirip Ronron, tapi karena suka keliaran,  badannya sering luka."
"Wah, kalau Ronron lebih suka di rumah. Keluar pun hanya sebentar. Kalau dengar suara kucing berkelahi, pasti langsung saya datangi. Kasihan."
Puas membelai kucing, kulanjutkan agenda belanja. Setelah kuputuskan pilihan, langsung kubayar dan pulang.
***
Lima belas menit sebelum berbelanja, aku masih di rumah tetapi sudah berseragam lengkap untuk melawan dinginnya kota angin di pagi hari. Kucoba membangunkan suamiku agar segera salat subuh sebelum mentari menyapa. Setelah itu, aku membuka pintu depan dan mengucapkan salam yang dijawab pelan olehnya. Kugeser pintu pagar. Angin sepoi nan beku membuat bibirku kering, kututupi dengan kedua telapak tangan sebagai pengganti masker. Pagi itu langit begitu cerah, bintang-bintang tampak jelas menghias angkasa kelam.
“MasyaAlloh...cantiknya...” kupandangi langit dengan melangkah awas. Ah, mungkin bintang terlihat jelas karena di bawah gelap. Gumamku. Lampu penerang jalan perumahanku mati semua kecuali yang paling depan, mungkin kabelnya putus lagi. Jalanan tanah ini hanya diterangi berkas cahaya beberapa lampu teras rumah kosong. Ya, di perumahan ini hanya rumahku yang sudah berpenghuni.
Sampai di tepi jalan raya, kutengok kanan kiri. Sepi. Kalau berjalan di tengah jalan pun tak masalah. Aku mengikuti rasa penasaran sejenak, tapi tidak kulanjutkan karena mungkin akan ada kendaraan yang melintas. Aku menepi, lalu menyeberang ke selatan jalan. Biasanya aku berpapasan dengan warga yang baru pulang dari masjid, tapi pagi ini tak ada seorang pun.
***
Tiga puluh menit yang lalu, aku terbangun karena suara alarm yang merasuki mimpi. Aku tidak melanjutkan tidur. Harus belanja lauk. Di lemari es hanya ada sayuran. Aku meyakinkan diri untuk segera bangun, duduk sebentar. Kuperhatikan telepon genggam milikku, alarmnya tidak menyala. Ah, mungkin lupa kuaktifkan. Pikirku. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 04.30, harus bergegas wudu lalu salat subuh.

★ Selesai ★

Epilog
Manusia sering tertipu oleh pikirannya. Tipuan itu memengaruhi pandangan, pendengaran, penciuman, bahkan perasaan. Pengalaman seperti ini mungkin tidak akan pernah terulang lagi di masa mendatang. Pengalaman yang menunjukkan betapa kuatnya pengaruh pikiran pada tingkah polah jiwa raga. Normalnya, aku tidak akan berani berjalan sendirian di jam-jam seperti itu dengan jarak tempuh yang lumayan jauh. Namun, tipuan pikiran sukses menjadikanku seorang pemberani.
Nganjuk, 14 Juli 2019 (Minggu)
#kopling
#ngopling
#ngoplingbebas

Comments

  1. Kebayang jalan sendirian dalam gelap, apalagi kondisi sepi. Tapi rasa takut memang harus dilawan ya mbak Nio

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mbak, apalagi rasa takut pada hal yg tidak jelas 😊

      Delete
  2. Kadang kemarahan juga menipu. Beyangkan bila ibu hamil 7 bulan nekat keluar rumah berjalan kaki tengah malam sendirian, padahal rumahnya hanya kios ditengah pasar tanpa tetangga. Akhirnya bingung sendiri 😂😂. Semangat menulisnya luar biasa. Keren 👍👍

    ReplyDelete
    Replies
    1. Lho...mau ke mana ibu hamilnya??😱
      Klo sy tengah sawah 😆
      🙏 trima kasih mbak Rina

      Delete
  3. Kadang kemarahan juga menipu. Beyangkan bila ibu hamil 7 bulan nekat keluar rumah berjalan kaki tengah malam sendirian, padahal rumahnya hanya kios ditengah pasar tanpa tetangga. Akhirnya bingung sendiri 😂😂. Semangat menulisnya luar biasa. Keren 👍👍

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

#24 Penduduk Nganjuk dan Kesenian Daerahnya

#23 Bentang Alam dan Pembagian Wilayah Kabupaten Nganjuk

#25 Tujuh Belas Tempat Wisata Populer Nganjuk