Novel The Moor: Inggris dan Teh

Pengunjung Galeri Nio ☕

Tugas RC ODOP 6 kali ini adalah membahas perbedaan dan persamaan antara budaya atau tradisi di Indonesia dan negeri asal novel; atau negeri dalam novel.

Novel yang sudah saya selesaikan membaca hari ini bertajuk Serial Mary Russell dan Sherlock Holmes: The Moor. Penulisnya adalah Laurie R. King. Seorang wanita yang lahir 19 September 1952 di Oakland, California, Amerika Serikat. Beliau meraih berbagai penghargaan untuk novel-novelnya yang luar biasa.



Baiklah, mari kita mulai pembahasannya.

Novel The Moor mengisahkan sebuah kasus misteri di sebuah tanah rawa di Inggris Raya. Tokoh utamanya adalah Mary Russell. Perempuan muda berusia sekitar 25 tahun. Russell terseret ke dalam kasus ini “berkat” suaminya—Sherlock Holmes. Dengan perasaan terpaksa, Russell menuruti permintaan—yang lebih seperti perintah—sang suami untuk menemuinya di Dartmoor.

Kisah bergulir dinamis dan menegangkan. Kasus pembunuhan yang berselimut legenda urban masyarakat tanah rawa membuat pasangan ini mengalami bermacam keadaan yang tidak menyenangkan, terutama bagi Mary Russell. Ia harus mencicipi lengketnya lumpur dan kerasnya bebatuan di sana.

Dari “keseharian” pasangan detektif ini, kita bisa melihat budaya dan tradisi yang berjalan di Inggris. Beberapa tata cara hampir sama dengan di Indonesia, tapi ada juga yang jarang bahkan tidak kita—sebagai bangsa Indonesia—lakukan. Latar cerita ini cukup kompleks, dari cara pandang individu, pasangan suami istri, persahabatan, hingga masyarakat dan lingkungan.

Sebelum membahas persamaan, mari kita bandingkan perbedaannya dahulu.

Pertama, tradisi minum teh. Inggris dan teh seolah tak terpisahkan. Selalu ada waktu khusus untuk menikmati teh dengan khusyuk—pagi ataupun sore. Minum teh dengan ditemani penganan manis sambil berbincang santai adalah waktu wajib yang harus diluangkan. Kalau di Indonesia, kita bisa minum teh kapan saja, tanpa harus menciptakan suasana khusus.

Kemudian, memanggil suami dengan nama belakangnya. Seperti Russell yang memanggil suaminya dengan “Holmes”. Padahal usia mereka terpaut jauh. Saat itu usia Holmes mencapai 60 tahun. Sedangkan pernikahan keduanya telah berlangsung selama dua setengah tahun. Jika di sini, biasanya memanggil suami dengan “Mas” atau panggilan lain yang mengindikasikan penghormatan (apalagi yang jauh lebih tua, hehe).

Mungkin hanya dua perbedaan yang cukup mencolok, karena kedua tokoh memiliki sikap dan pemikiran yang “jauh ke masa depan” (atau masa lalu?). Selanjutnya adalah persamaan. Cukup banyak persamaan yang saya temukan dalam novel ini.

Budaya menghormati tamu. Setiap tamu yang berkunjung, apalagi yang diharapkan, akan disambut dengan baik, ditawari makan dan minum. Dalam novel ini adalah Mr. Gould dan Mr. Ketteridge.

Lalu menghormati dan mematuhi suami. Meskipun berat karena tidak sesuai dengan kenyamanan yang diinginkan dan melakukan dengan—sedikit—terpaksa, asal bisa membantu pasangan. Selain itu, ada cuplikan yang membuat saya mengangguk-angguk.

“Kurasa salah satu manfaat tak terduga pernikahan adalah selalu tersedia kambing hitam untuk menampung tuduhan publik.” (Halaman 142)
Kalimat tersebut terasa begitu “nyata”, hehehe.

Selanjutnya, budaya menyapa. Menyapa orang yang lewat, apalagi kita mengenalnya, adalah suatu bentuk interaksi sosial yang dianggap sangat penting. Bagaimana tidak? Karena menyapa bisa mempererat ikatan dan kepercayaan, terutama dalam hidup bermasyarakat.

Pada dasarnya, tradisi dan budaya memiliki akar yang sama, yaitu menghormati. Hanya saja cara yang berkembang akan berbeda di setiap tempat tradisi itu tumbuh dan berkembang. Ada baiknya jika kita selalu menerapkan pepatah “Di mana kaki menginjak, di sana langit dijunjung.”

Sekian tulisan saya kali ini. Semoga bermanfaat dan ... sampai jumpa.

Terima kasih😄.


Comments

Popular posts from this blog

#24 Penduduk Nganjuk dan Kesenian Daerahnya

#23 Bentang Alam dan Pembagian Wilayah Kabupaten Nganjuk

#25 Tujuh Belas Tempat Wisata Populer Nganjuk