Cerpen: Tongkat Api

Pengunjung Galeri Nio 🐈

Hari ini saya akan menampilkan sebuah cerpen yang terinspirasi kisah dalam novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori. Latar belakang cerita ini adalah peristiwa 1998. Cerpen ini sekaligus sebagai tugas Reading Challenge ODOP yang keenam. 

Selamat membaca 😊


TONGKAT API
Layar cembung berkedip-kedip dalam ruangan gelap. Menyinari deretan gigi yang ditampakkan dalam seringai. Tangan berbulu bersandar di bantalan lengan, menopang dagu tajam yang ditumbuhi jenggot tipis. Mimik wajahnya seolah berkata “Aku Puas!”. 

Sesekali ia menyeruput kopi hitam yang bersanding dengan asbak di meja. Kepul asap rokok menyembul dari celah kedua bibir hitamnya. Lelaki yang hanya mengenakan kaos dalam da celana kolor itu menyandarkan punggung. 

“Kata orang ‘Cinta ditolak dukun bertindak’. Cih, basi! Gue lebih sakti dari dukun!”

Lelaki bertubuh gempal itu masih menikmati tayangan berita yang berulang-ulang di televisi. Seakan menikmati master piece,  mahakarya yang telah ia ciptakan sedemikian rupa, hingga bisa dinikmati siapa saja. Jangankan hanya sekelompok jiwa, bahkan dikenang seluruh dunia. 

Ia menutup kedua kelopak mata, lalu memutar kembali proyektor. Memainkan adegan-adegan kala itu. Saat lelaki itu hanya pribumi lulusan SD yang menjadi penjaga toko di pasar. Ketika pikirannya masih polos dan lugu. 

Dia mendapat predikat karyawan terbaik selama beberapa bulan. Majikannya selalu memuji, meski hanya itu yang ia dapatkan sebagai bonus. Cinta pun bersemi di dalam hatinya ketika putri sang majikan ikut memuji dan memberinya sepasang sandal. 

Pemuda itu mendapati hari-harinya berlalu penuh warna. Warna sendah pelangi yang disuguhkan oleh bayangan senyum, suara merdu, wajah cantik, dan kulit putih gadis remaja itu. Gelora jiwa mudanya membara, dia bertekad menyatakan cinta. Ia yakin karena gadis oriental itu selalu bersikap baik dan manis. 

Gayung tak bersambut, cinta tak terpaut. Tak pernah disangka oleh sang pemuda, si gadis menolaknya dengan tegas dan keras. Bahkan sempat melontarkan makian. Musnahlah semua khayalan yang ia bangun dalam angan. Serpihan hatinya tak mampu ia susun kembali. 

Pertama kali jatuh cinta dan mendapatkan hinaan. Relung jiwa cetek pemuda itu tak sanggup menanggungnya. Ia berhenti bekerja di toko sandal sepatu milik orang tua si gadis sipit. Keinginannya untuk balas dendam begitu besar. 

Lelaki itu akhirnya akrab dengan para preman pasar. Bahkan diangkat menjadi salah satu pimpinan kelompok. Dia pun menemukan segelintir kawan yang senasib—tentang cinta. 

Ia pernah berencana menculik si gadis, tapi terus saja gagal. Si cantik tidak pernah sendirian. Selalu saja ada banyak orang di sekitarnya. Pemuda itu tidak mau mendapat gelar penculik yang akhirnya masuk penjara. Ia mendapat ide tersebut karena terinspirasi dari kabar banyaknya aktivis yang menghilang.

Saat kerusuhan mahasiswa pecah, ia mendapat ide cemerlang. Pemuda itu mengumpulkan beberapa preman dan menyusun rencana balas dendam. Para preman akan menggordinasi massa yang ikut andil dalam “perburuan” ini. 

Di luar dugaan, banyak orang yang bergabung dengan gerakan ini. Entah apa motif mereka. Dendam? Iri? Atau hanya ingin bersenang-senang? Lelaki itu tidak ambil pusing. Ia hanya ingin mendapatkan gadis buruannya, mencabik jiwa raga si gadis hingga meregang nyawa. 

Obor perburuan tidak hanya menyala di Jakarta, dari Medan hingga Surabaya, tongkat api estafet dengan cepat menyebar dalam waktu hampir bersamaan. Dari 13 sampai 15 Mei 1998 etnis Tionghoa diburu. Para perempuan diculik dan dilecehkan. Toko dan rumah dirusak dan dibakar.

Kerusuhan rasial ini menyebabkan emigrasi besar-besaran. Mereka mencari suaka untuk diri dan keluarga. Bukan hanya etnis Tionghoa yang menjadi korban, para pribumi pun tak lepas dari imbasnya. 

Setelah pergantian pemerintahan, kasus yang disulut lelaki itu mulai diselidiki. Tak banyak yang tertangkap, karena para korban yang masih hidup mengalami ketakutan dan trauma yang dalam. Kasus pun ditutup tanpa meringkus si pematik api. 

Lelaki berambut ikal gondrong melenguh setelah menegak botol minuman keras yang baru dibuka. Bir berlabel yang ia beli ketika dompetnya cukup tebal. 

“Hah, siapa yang dulu panggil gue Sangkuni? Lupa! Tapi gue inget banget pujiannya. ‘Encer juga otak, lu! Cinta ditolak, massa bertindak? Gue ga pernah mikir gitu.’ Hahaha, gue emang cuman lulusan SD, miskin, item, jelek? Ga! Gue lumayan ganteng. Selamat menikmati neraka Mei Lan sayang ….”

*** Tamat ***

Catatan: Please, jangan contoh si Pemuda. Itu contoh buruk yang nggak boleh ditiru! Si Pematik kerusuhan 98 entah masih hidup atau sudah mati, semoga saja dia sudah sadar dan menyesali perbuatannya. 

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

#24 Penduduk Nganjuk dan Kesenian Daerahnya

#23 Bentang Alam dan Pembagian Wilayah Kabupaten Nganjuk

#25 Tujuh Belas Tempat Wisata Populer Nganjuk